Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Dari surah ini kita meyakini bahwa dimensi itu sangat penting di Islam hingga Dzat yang menguasai bumi dan alam semesta ini bersumpah “Demi masa.” Kita sebagai muslim tentu tak boleh menganggap remeh masalah waktu ini karena memang terbukti bahwa Allah Azza wa jalla telah menebar setiap detik dari waktu kita selama 24 jam setiap hari, selama 365 hari dalam setahun, tak pernah tutup pintu-pintu berkah yang DIA gelar. bahkan, dalam satu hari satu malam kita bisa mengamalkan lebih dari 1000 sunnah. Maasya Allah!
Yang ingin saya bahas kali ini adalah bentangan waktu melek kita yang umumnya sebagian besar dari kita digunakan untuk aktivitas duniawi (muamalah) mulai dari Shubuh hingga Ashar atau Maghrib meski sebagian dari kita ada juga yang masih melakukan hingga malam hari bada Isya. Namun kali ini saya tertarik untuk membahasnya dari Shubuh hingga menjelang Maghrib bahkan lebih indah lagi kalau bisa berakhir sampai Ashar saja, selebihnya fokus di urusan akhirat. Tapi …tunggu dulu, bukannya setiap jengkal waktu bisa niatkan untuk akhirat kita meski itu urusannya duniawi? Bukankah Nabi Shallallahu ‘Alaiwi Wa Sallam juga berdagang? Artinya, selama kita melakukan kegiatan yang diniatkan mencari nafkah untuk keluarga dari sumber yang halal akhirnya jadi bernilai ibadah dan urusan akhirat juga bukan? Nah ….perspektif bahasan kita di situ ya. ARtinya, kita bicara di sini pekerjaan halal yang sesuai syariat Islam dari Shubhuh hingga menjelang Maghrib.
Mengikuti Jadwal Allah
Sebagian dari kita mengatakan bahwa waktu bahasan kita ini saat kita ‘bekerja’ meskipun secara makna saya kurang suka dengan istilah ini. Kenapa? Kalau bekerja bagi saya adalah sekedar menjalankan apa yang diperintahkan oleh pemberi kerja (bisa juga kita sendiri sih yang memberi kerja, tapi bisa juga orang lain: atasan, atau pelanggan kita). Secara makna saya lebih suka istilah berkarya karena orientasinya bukan kepada proses tapi justru pada hasil (karya) dari penggunaan waktu tersebut. Karena saya berprofesi sebagai konsultan maka hasil karya saya adalah buah pikiran yang bisa berupa gagasan, rekomendasi, arahan, nasehat kepada yang menjadi klien saya, bisa dalam bentuk laporan maupun kajian tertulis lainnya atau interaksi dengan Klien saya. Kalau Anda profesi sebagai Sales sebuah perusahaan maka hasil karya Anda adalah berapa unit produk yang Anda jual dan berapa rupiah Anda hasilkan (karya) untuk perusahaan tersebut. Nah, jelas bukan bahwa berkarya lebih bermakna dibandingkan bekerja?
Apapun istilah yang Anda pakai, saya dalam bahasan ini menggunakan istilah berkarya karena setiap jengkal waktu yang dianugerahkan ALlah ke saya harus bisa menghasilkan karya, dalam bentuk apapun. Saat saya menulis artikel ini, saya juga sedang berkarya sehingga saya berharap pahala dari Allah Azza Wa Jalla bila artikel ini bermanfaat bagi orang lain, sesama muslim. Hari Jumat lalu saya diundang oleh seorang sahabat untuk membahas sebuah potensi proyek jasa konsultansi. Memang, secara material hasilnya tak bisa diukur dengan rupiah namun saya telah berkarya karena pada saat diskusi tersebut saya memberikan beberapa masukan konstruktif yang saya harapkan bermanfaat buat sahabat saya tersebut hingga suatu ketika, atas ijin Allah, menghasilkan usulan yang akhirnya menjadi proyek. Namun, hasil karya tanpa rupiah pada hari Jumat lalu itu merupakan salah satu building blocks penting untuk karya yang lebih besar. Jadi, saat membicarakan karya tak berarti harus keluaran akhir, bisa jadi adalah keluaran antara.
Kalau kita berkarya dengan berpatokan pada jadwal Allah yaitu dari waktu shalat ke waktu shalat berikutnya, kita akan selalu terpacu untuk berusaha seproduktif mungkin. Mengapa? Karena jadwal panggilan adzan Allah itu sudah begitu sempurna sebagai patokan.
- Kalau ANda berkarya mulai masuk kantor pagi jam 8:00 maka bikin jadwalnya untuk bekerja hingga 15 menit sebelum waktu Dzuhur. Dengan patokan ini Anda akan merasakan bahwa waktu Anda terbatas, hanya 4 jam kurang bahkan kalau dikurangi waktu Dhuha, lebih kurang lagi. Artiny, tentukan dalam 3 jam di pagi hari. Tentukan, selama 3 jam itu Akan menghasilkan apa, meski bisa jadi belum tuntas. Misalnya kalau Anda sedang membuat laporan atau analisis maka tetapkan bahwa pada 3 jam pertama harus sudah sampai pada bab mengenai apa.
- Kenapa 15 menit sebelum Dzuhur sebaiknya berhenti? Di situlah ANda menyiapkan diri memenuhi panggilan Allah melalui adzan dengan mengambil wudhlu dan kemudian berangkat ke masjid terdekat. Ikuti waktu Dzuhur sebagai patokan bukan jam berapa. Ada kalanya waktu Dzuhur bisa jadi sebelum jam 12, bahkan bisa saja jam 11:20. Artinya, Anda harus berhenti bekerja pada jam 11:05. Sampaikan ini ke atasan Anda bahwa jam istirahat ANda maju karena kebutuhan shalat namun pukul 12:05 Anda kembali berkarya, kalau kantor ANda memiliki kebijakan jam istirahat hanya 1 jam.
- Selanjutnya, Anda menyusun jadwal dari setelah istirahat siang ke waktu Ashar, bisa jadi sekitar 2 jam. Buat target tentang apa yang akan Anda capai sebelum Ashar. Bila memang belum memenuhi kebutuhan perusahaan tentang jam operasional minimum 8 jam, berarti ANda masih bisa kerja hingga Maghrib.
Coba rasakan hasilnya. Saya yakin produktivitas Anda meningkat drastis bahkan bisa 100% meningkatnya. Kenapa? Karena secara psikologis Anda menciptakan batasan (limit) waktu dengan target penyelesaiannya.
Silakan mencoba!
Read Full Post »